Entri Populer

Kamis, 02 Juni 2011


A.      Kaidah Hukum dan Sosial
Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Pola-pola berfikir manusia dalam pergaulannya mempengaruhi sikap manusia itu sendiri, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu kepada manusia lain, atau terhadap benda maupun keadaan-keadaan yang ada disekitarnya. Sikap-sikap manusia inilah yang membentuk kaidah-kaidah untuk mengatur manusia agar hidup teratur dan pantas. Kaidah-kaidah ini merupakan patokan atau pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyrakat.
Di satu pihak kaedah-kaedah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, yang terdiri dari kaidah kepercayaan atau agama dan kaidah kesusilaan. Di lain pihak ada kaida-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaedah hukum. Kaidah hukum memiliki perbedaan dengan kaidah-kaidah lainnya, karena mengatur kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang ada di dalam pergaulan hidup manusia. Tetapi secara empiris merupakan suatu hal yang wajar apabila kaidah-kaidah hukum ada perbedaan dengan prilaku manusia yang nyata.
Hal ini dikarenakan kaidah hukum merupakan pedoman tentang prilaku manusia yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola prilaku manusia. Setip masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar prilakunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun tidak untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarajat yang bersangkutan.[1]  Menurut Bronislaw Malinowski dalam  penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobiand dari Melanasia kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1926), menyatakan inti sari hukum adalah terjalinnya prinsip resiprositas. Dia berkata bahwa:
The rules of law stand out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations or one person and the rightful claims or another. They are sanctioned not by a mere psycological motive, but by a definite social machinery of binding force, based................. upon mutual depndence, and realized in the equivalent arrangement of reciprocal serices.[2]
Selanjutnya dia berpendapat bahwa: law is spesific result of the configuration of obligations, which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future.[3]Analisis dari Malinowski tersebut telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh dengan kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari dalam pergaulan hidup manusia. Hukum bukan semata-mata berupa paksaan tetapi merupakan jalan untuk mengemukakan suatu sitem yang sangat luas dari pengendalian sosial. Selain itu hukum juga dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat agar hukum itu dapat dilaksanakan oleh masyarakat.[4]
Menurut H. L. A. Hart, konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum itu sendiri. Menurutnya inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan sekunder. Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informil tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Ada kemungkinan dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat yang stabil di mana para warga negaranya saling mengenal serta mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain.[5] Tetapi dengan perkembangan zaman yang terjadi menyebabkan semakin kompleks suatu masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Dengan demikian diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
1.      rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dean dimana perlu menyusun sturan-aturan tadi secara hierarki menurut urut-urutan kepentingannya;
2.      rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
3.      rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.[6]


[1] J. S. Roucek, Social Control, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-2 (Jakarta: rajawali, 1983), hal. 68.
[2] Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, dalam soerjono soekanto, loc.cit. hal. 69.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] H. L. A. Hart, The Concept of Law, dalam Ibid.,
[6] Ibid., hal. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar