Entri Populer

Kamis, 02 Juni 2011

Kebijakan Resosialisasi Prostitusi


                                           Kebijakan Resosialisasi Prostitusi

Masalah prostitusi sebagai salah satu fenomena sosial pada saat ini begitu sulit untuk di atasi oleh pemerintah. Di mana prostitusi itu bermakna sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[1] Fenomena ini telah menimbulkan keresahan masyarakat. Fenomena prostitusi bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di tiap negara di dunia, ini mengingat secara harfiah fenomena prostitusi muncul bersamaan dengan adanya masyarakat. Masyarakat seolah-olah sudah memiliki semacam kesepakatan ini, yaitu memberikan warna hitam terhadapnya, kehidupan yang berlumpur dan bernoda yang dikutuk masyarakat. Tetapi disisi lain, dilihat dunia pelacuran menjanjikan sejuta impian. Impian yang harus ditebus dengan cara yang total oleh wanita-wanita yang ingin mewujudkannya dalam mempertahankan realitasnya dan keluarganya. Sementara para ahli ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini kedalam “Patologi Sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya.
Prostitusi ini menimbulkan dampak yang besar kepada masyarakat karena secara langsung maupun tidak langsung prostitusi menimbulkan keresahan masyarakat. Keresahan masyarakat ini muncul karena prostitusi dapat mengganggu kesehatan masyarakat (menimbulkan IMS=Infeksi Menular Seks), namu dengan demikian menurut J. Verkuyl bahwa: “Kita melarang pelacuran, tetapi sebaliknya kita dapat terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan”.
Prostitusi merupakan dilema sosial yang universal yang juga dihadapi oleh Indonesia dimana KUHP tidak berdaya untuk diterapkan terhadap prostitusi, karena sangat minim dan sederhana sekali kaidah-kaidah yang berhubungan dengan masalah prostitusi. Pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai prostitusi hanya tiga pasal yaitu Pasal 296 KUHP, Pasal 297 KUHP dan Pasal 506 KUHP dan kenyataan mengenai KUHP sendiri tidak secara tegas mengancam hukuman pidana kepada si pelacur. Pemerintah Indonesia hingga saat ini pun jika dilihat dari realita yang ada sebenarnya belum mampu untuk menanggulangi masalah prostitusi, meskipun pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian fenomena sosial prostitusi. Untuk menanggulangi permasalahan prostitusi pemerintah harus mengeluarkan suatu kebijakan mengenai permasalahan ini, kebijakan tersebut harus dilandasi wewenang yang dimiliki oleh pemerintah tersebut. Kebijakan pada dasarnya adalah oprasionalisasi dari kewenangan artinya kebijakan itu hasil dari tindakan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Terdapat 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat menurut H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:

1. attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);
2.    delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan door een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dai satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);
3.      mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[2]

Ditinjau dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa : Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Dalam hal ini yang menjadi kewenangan pemerintah pusat menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kemudian yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.        fasilitas pengembangan koprasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.    pelayan administrasi umum pemerintahan;
n.      pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p.      urusan wajib lainnya yangh diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewenangan Pemerintahan daerah kabupaten/kota menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.      perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan kepentingan umum dan ketentraman sosial;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.       pemyelenggaraan pendidikan;
g.      penaggulangan masalah sosial;
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.        fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.        penegndalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan;
l.        pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m.    pelayanan administrasi pelayanan modal;
n.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan dalam penanganan masalah protitusi ini kemudian diimplementasikan ke dalam sebuah kebijakan publik yaitu keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.[3] Kaitannya dengan kebijakan resosialisasi prostitusi adalah bahwa mengenai kebijakan ini bukanlah menjadi urusan pemerintah pusat melainkan urusan pemerintah daerah, karena kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Hal ini mungkin bahwa pembuat undang-undang memahami si pelacur seolah justru sebagai korban situasi atau keadaan. Alasan tersebut di ataslah yang menyebabkan berbagai kota besar di Indonesia atas persetujuan Pemerintah Daerahnya mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pelacuran.


[1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, loc.cit.
[2] H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-2 (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar