Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

BHINEKA TIDAK TUNGGAL IKA DALAM BERAGAMA


BHINEKA TIDAK TUNGGAL IKA DALAM BERAGAMA
Sayatan Masalah
Badai krisis multidimensial yang melanda dan merongrong negeri  ini sejak reformasi bergulir belum juga mereda. Semakin lama persoalan yang menghinggapi bangsa dan negara ini semakin menumpuk tapi tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. Ketika persoalan-persoalan seperti masalah ekonomi teroris, pendidikan, kesejahteraan rakyat belum tuntas diselesaikan, muncul persoalan  baru yang datang seperti kasus konflik warga Kampung Ciketing Asem dengan jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi. Konflik warga tersebut membuar daftar panjang konflik yang berbau SARA (suku, ras dan agama) yang melanda negeri ini. Konflik tersebut sesungguhnya mencerminkan belum siapnya mental masyarakat Indonesia dalam menerima keberagaman atau pluralitas yang ada. Pada tingkat mental ini masyarakat Indonesia belum mampu secara sadar untuk menghormati dan menghargai pluralitas seperti toleransi maupun dialog dalam kehidupannya.
Apabila melihat ke perkembangan sejarah umat manusia dalam menghargai keberagagaman (pluralitas) masyarakatnya dapat dilihat dalam Piagam Madinah pada jaman Islam baru berkembang di jazirah Arab sekitar abad ke-7 masehi. Dalam Piagam yang fenomenal tersebut disebutkan bahwa orang-orang yang ada di madinah baik itu Islam, Kristen, Yahudi dan orang-orang Majusi dapat hidup berdampingan dengan aman dan tenteram, serta juga wajib menjaga dan melindungi kota Madinah dari serangan pihak luar. Sedangkan dalam sejarah bangsa ini semangat pluralitas juga menggema ketika jaman kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang menancapkan kekuasaannya keseluruh penjuru Nusantara. Pada saat itu semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu” terus dikumandangkan dalam menjaga keutuhan kerajaan Majapahit dari perpecahan. Semboyan tersebut juga akhirnya mengilhami kebangkitan nasional pada awal abad ke-20 yaitu Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan tentunya Peristiwa “Sumpah Pemuda” pada tahun 1928 yang menanamkan semangat menyatukan ke-bhinekaan, toleransi dan semangat untuk berjuang secara bersama-sama untuk bebas dari penjajahan Belanda pada saat itu.
Awal kemerdekaan semangat pluralitas negara ini begitu berkobar karena semua orang sedang terhegemoni kemerdekaan yang baru direngkuhnya sehingga konflik yang menyinggung keberagaman dalam masyarakat belum terlihat. Tetapi ketika diakhir Orde Lama dan saat Orde Baru berkuasa di negeri ini rasa toleransi terhadap kebhinekaan menjadi semu karena hanya pluralisme atau toleransi terhadap kebhinekaan diperlihatkan permukaannya saja sehingga menjadi pseudopluralism atau “pluralisme palsu”. Hal tersebut disebabkan toleransi terhadap kebhinekaan (pluralitas) hanya diajarkan dalam pendidikan secara formal saja, seperti menghormati agama, adat istiadat antar sesama warga negara yang diajarkan hanya sebatas yang ada di dalam kurikulum  semata. Sedangkan pemberian pemahaman dalam kehidupan masyarakat sangat jarang dilakukan, padahal tersebut merupakan res publica atau “urusan bersama” seluruh komponen bangsa dan negara ini.
Rontoknya Toleransi Kebhinekaan dalam Beragama
Gegap gempita reformasi pada tahun 1997-an ternyata justru membuat rasa menghormati terhadap kebhinekaan yang ada di masyarakat semakin terkikis. Reformasi telah membuat kebebasan di salah artikan oleh masyarakat sehingga menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat dengan mengatasnamakan kebebasan. Kebebasan yang terkesan kebablasan karena justru menumbuhkan rasa ingin menang sendiri atau egosentris kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok lainnya di suatu wilayah tertentu.
“Freedom Of Religion” atau yang berarti kebebasan untuk beragama adalah semboyan yang  dikumandangkan oleh Franklin D’elano Rosevelt terhadap seluruh umat manusia untuk bebas memeluk agama yang diyakininya. Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal pun menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi yang tidak bisa dicabut dalam bentuk apapun.  Sehingga dalam tatanan dunia yang beradab diperlukan toleransi untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan yang ada diantara masing-masing pemeluk agama.
Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan berates-ratus suku bangsa, adat istiadat dan beraneka ragamnya agama yang dianut oleh bangsa ini menunjukan bahwa negara ini sangat rentan dengan gesekan-gesekan yang akan menyulut konflik dalam masyarakat. Pengkotak-kotakan masyarakat sudah tersegmentasi  terutama dalam beragama membuat masing-masing pemeluk agama terkesan memandang cuma agamanya yang paling benar sedangkan agama yang lainnya dianggap lebih rendah daripada agamanya.
Konflik di Ambon, Poso adalah sekelumit dari konflik yang terjadi dimasyarakat yang mengatasnamakan agama. Konflik tersebut menjadi cermin bahwa rasa toleransi untuk saling menghargai dan menghormati masih belum ada sepenuhnya dalam pikiran masyarakat Indonesia. Fanatisme dan Radikalisme yang berlebihan terhadap agama yang masyarakat negeri ini anut menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya konflik yang terjadi dimasyarakat.
Kita dapat melihat adanya organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu bertindak main hakim sendiri  (eigenrichting) dalam rangka menjalankan ajaran agamanya dalam memberantas perbuatan yang mereka katakan  “maksiat”. Mereka tak segan-segan merusak barang bahkan bertindak anarkis terhadap orang-orang yang menentangnya. Termasuk dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan mereka seolah-olah yang paling benar. Mungkin kita masih ingat terjadinya insiden di Monas beberapa waktu lalu antara ormas Front Pembela Islam dengan masyarakat yang melakukan unjuk rasa dalam solidaritas terhadap penekanan kepada jemaah Ahmadiyah. Masih segar di ingatan kita terkait kasus HKBP di Bekasi telah menyiratkan bahwa memang di Indonesia toleransi terhadap perbedaan yang ada terutama dalam hal beragama sangat kurang. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan pihak yang terkait belum mampu menciptakan kerukunan antar umat agama yang ada di Indonesia.    
Benih-benih Kebencian Masa Lalu
Egosentris atau keegoisan masing-masing umat pemeluk agama terhadap agama yang dianutnya, serta misionaris/dakwah yang terus dilakukan oleh masing-masing pihak menjadi pangkal utama permasalahan umat beragama di Indonesia saat ini.  Hal tersebut mungkin terlihat seperti perang salib jilid II terjadi di Indonesia, karena melihat dari berbagai konflik agama yang terjadi di Indonesia itu terkesan hanya pemeluk agama Islam dengan Kristen. Walaupun hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar karena setiap aliran ataupun mahzab dari masing-masing agama itu selalu timbul pertentangan yang pada ujungnya saling menyalahkan satu sama lain.
Dua kelompok agama terbesar di Indonesia, yakni Islam dengan Kristen menjadi garda terdepan dalam berbagai kasus konflik beragama, tetapi bukan berarti memojokan kedua pemeluk agama tersebut. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan karena daya psikologis sejarah yang terjadi antara kedua agama tersebut ketika terjadi perang salib pada abad ke 11 yang terus terhanyutkan pemikirannya sampai sekarang. Sebutan orang Islam untuk pemeluk Kristen atau Yahudi adalah “Kafir” ataupun “domba-domba tersesat” untuk orang Islam oleh pemeluk Kristen telah menjadi semacam paradigma bahwa masing-masing agama tersebut yang paling benar sedangkan agama lain adalah salah. Padahal dalam masing-masing agama dikatakan harus saling menyayangi mengasihi dan menghargai terhadap sesama manusia. Sebagai gambaran, dalam hal pendirian tempat ibadah masing-masing agam saja sudah terlihat tidak ada toleransi, misalnya apabila hendak mendirikan gereja di wilayah yang meyoritas beragama Islam seperti kasus HKBP di kampung Ciketing sangat sulit dilakukan karena adanya penolakan dari masyarakat yang mayoritas bergama Islam tersebut. Sedangkan apabila umat Islam ingin mendirikan Mesjid di daerah yang mayoritas Kristen seperti di Papua, itu sulit dilakukan karena penolakan masyarakat setempat. Kecurigaan yang disertai penolakan umat beragama tersebut terhadap agama lain pada akhirnya meniadakan toleransi yang seharusnya dilakukan terhadap perbadaan yang ada. Kecenderungan homo homini lupus atau “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” seperti yang diutarakan oleh Thomas Hobbes seakan tercermin dari konflik yang terjadi tersebut. Sikap kebersamaan atau kolektifitas bangsa ini seakan hancur lebur ketika dalam kebersamaan itu tidak ada toleransi didalam masyarakat.
Menumbuhkan Sikap Toleransi Untuk Mencegah Perpecahan Bangsa
Perkembangan toleransi terhadap keberagaman dalam tatanan global telah menciptakan suatu ruang yang sangat kompleks, dengan adanya pemahaman agama yang beraneka ragam,   membuat seolah-olah dunia ini adalah “hutan rimba agama yang plural”. Ditengah hutan rimba yang lebat dan kompleks tersebut konflik masing-masing makhluk yang didalamnya akan selalu terpancing. Agama yang berasal dari bahasa sanskerta yang berarti “tidak kacau” harus terlaksana dalam jurang perbedaan agama yang ada.
Memang setiap manusia mempunyai hak asasi dalam mengeluarkan pendapat ataupun pemikirannya, namun yang disayangkan ketika pendapat atau pemikirannya terhadap perbedaan yang ada ditunjukan secara terang-terangan terhadap orang yang berbeda pemikiran, keyakinan ataupun agama dengannya. Hal tersebut tentu saja dapat memicu geseka-gesekan antar umat beragama.
Upaya meretas kembali penanaman kesadaran toleransi antar umat beragama harus dilakukan baik dalam pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal seperti dalam kegiatan agamanya masing-masing. Pola pikir bangasa ini selayaknya diubah menjadi “satu dalam perbedan” bukan “perbedaan untuk satu”. Negara ini adalah negara yang beragama bukan negara atas agama sehingga pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus senantiasa berusaha terus menerus untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah mengadakan dialog lintas agama yang intinya menyerukan toleransi beragama antar umat beragama. Manusia memeluk agama pada hakekatnya sama yaitu hubungan transedental dengan penciptanya (Tuhan), Cuma metodenya yang berbeda, sehingga seharusnya jangan jadikan perbedaan menjadi permusuhan. Interaksi antar umat beragama hendaknya selalu terjalin harmonis dan hapuskan pola pikir saling curiga, musuh-memusuhi antar umat beragama dan jangan mementingkan keegoisan kelompoknya masing-masing. Kemudian cara refresif yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggulangi konflik yang terjadi adalah dengan bertindak tegas terhadap oknum masyarakat yang sengaja memprovokasi masalah sehingga menimbulkan konflik diantara masyarakat yang majemuk tersebut. Ataupun menindak tegas kelompok masyarakat yang main hakim sendiri dan membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih agama tertentu. Upya pencegahan dan penanggulangan mutlak dilakukan secara terus-menurus untuk menghilangkan perpecahan dan menumbuhkan toleransi terhadap perbedaan.
Sekedar pengingat bahwa bangsa ini merdeka karena persatuan dan kesatuan diantara perbedaan yang melatar belakangi pejuang-pejuang kemerdekaan bangsa ini. Selain itu semangat membangun diri dengan toleransi terhadap perbedaan yang ada harus dijadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini, untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang beradab, “ramah tamah gemah ripah loh jinawi

GENERASI MUDA HARAPAN BANGSA


KEPEMIMPINAN


GENERASI MUDA HARAPAN BANGSA


Rangkuman :
Sejarah lahirnya bangsa dan negara ini tidak terlepas dari generasi mudanya dalam melakukan perjuangan demi terbebasnya negeri ini dari cengkeraman penjajah. Dimulai dari pendirian Boedi Oetomo tahun 1908, kemudian Sumpah Pemuda tahun 1928, bahkan peristiwa proklamasi kemerdekaan pun tidak luput dari perjuangan para generasi muda negeri ini. Kita pun mengetahui bahwa Soekarno (Bung Karno) memimpin bangsa untuk merdeka selagi maih dirinya muda. Namun setelah lebih dari setengah abad bangsa dan negara ini merdeka, ternyata generasi muda negeri ini telah tergerus perubahan jaman yang justru membuat mereka seakan jauh dari rasa cinta tanah air dan pengabdian. Pemerintah harus melakukan tindakan yang cepat dan tepat untuk mencegah semakin rusaknya generasi muda negeri ini. Pemerintah yang bekerja sama dengan masyarakat harus senantiasa merangsang untuk menumbuhkan kesadaran kepada generasi muda untuk mengadi dan cinta kepada tanah airnya. Sehingga diharapkan terciptanya pemimpin-pemimpin masa depan Indonesia yang solid yang dapat membawa negeri ini kepada kemajuan dalam segala bidang.







GENERASI MUDA HARAPAN BANGSA
Awalan
Kepemimpinan adalah ciri utama manusia sebagai pemimpin “khalifah” di muka bumi ini. Sejak peradaban manusia di mulai, sosok pemimpinlah  yang menjadi simbol peradaban itu berlangsung. Michael H Hart dalam bukunya yang berjudul “Seratus Tokoh Yang Berpengaruh Di Dunia” mendeskripsikan bahwa mayoritas yang mempengaruhi peradaban dunia adalah sosok pemimpin, baik itu pemimpin negara, bangsa ataupun agama. Hal tersebut mencerminkan kedudukan pemimpin adalah sangat berpengaruh. Manusia dengan masing-masing kepentinganya yang beraneka ragam butuh sosok pemimpin untuk mengatur seluruh perbedaan kepentingan yang dikhawatirkan menimbulkan gesekan-gesekan diantara manusia tersebut.
Mayoritas buku yang membahas tentang suatu negara, maka akan membahas tentang pemimpin dan kepemimpinan di negara tersebut. Seorang filosof Plato menulis buku yang berjudul “Republic” yang didalamnya membahas tentang siapa yang harus memimpin sebuah negara. Dia mengatakan bahwa seorang pemimpin yang harus memimpin negara adalah seorang filosof, karena dia mempunyai pemikiran dan semangat yang filosofis sehingga akan memerintah negara tersebut dengan kearifan dan kebajikan. Namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya diikuti oleh pemimpin-pemimpin di dunia setelah plato tiada. Karena banyak dari sejarah peradaban ternyata pemimpin suatu negara adalah seorang petarung (fighter). Kita pasti mengenal Jenghis Khan, Julius Cesar, Alexander Yang Agung, Darius Yang Agung kesemuanya adalah seorang petarung atau mempunyai keahlian dalam berperang, bahkan seorang pemimpin agama seperti Nabi Musa, Daud, bahkan Nabi Muhammad SAW mempunyai keahlian berperang. Hal tersebutlah yang membuat pemahaman bahwa seorang pemimpin harus handal bertarung. Terlepas dari semua itu menjadi pemimpin haruslah memenuhi kebutuhan orang-orang yang dipimpin. Seorang pemimpin harus membuat kesejahteraan bagi rakyat, sehingga dia harus memiliki “sense” atau jiwa melayani bagi rakyat. Menjadi hal yang unik juga bahwa ternyata usia-usia para pemimpin  tersebut ketika memimpin masih usia muda dibawah 45 tahun, yang menjadikan suatu cirri bahwa kaum muda adalah cikal bakal ataupun penerus kepemimpinan dimasa yang akan dating.
Pilar Perubahan Bangsa
Indonesia merdeka dari penjajahan berkat pemimpin-pemimpin perjuangan pada waktu itu. Tidak mungkin Indonesia itu akan merdeka tanpa ada sosok pemimpin di dalamnya. Soekarno dan Muhammad Hatta adalah sosok pemimpin yang bangsa ini kenal ketika memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang didambakan bangsa ini selama ratusan tahun, sehingga ketika pekikan proklamasi berkumandang maka rakyat dengan spontan dan siap sedia akan mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka harapkan. Sehari sebelum proklamasi kemerdekaan terjadi, ada suatu peristiwa yang menjadi perhatian dan berperan penting dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, peristiwa tersebut adalah peristiwa Rangasdengklok. Dalam peristiwa tersebut sejumlah pemuda mengamankan Soekarno di daerah tersebut dan mendesak beliau untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dengan desakan yang kuat dari para pemuda tersebut, maka keesokan harinya Soekarno akhirnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dalam peristiwa itu sosok kaum-kaum muda atau yang pada waktu itu disebut dengan  “golongan muda” yang berperan dalam pendesakan proklamasi kemerdekaan.
Sosok kamu muda dalam perjalanan bangsa ini memang begitu menjadi sebuah agen perubahan (agent of change)   yang menentukan perjalan bangsa ini kedepannya. Disamping peristiwa proklamasi, kita juga harus ingat dengan peristiwa  sumpah pemuda, peristiwa ’65, bahkan peristiwa gegap gempita reformasi dipimpin oleh kaum-kaum muda bangsa Indonesia. Begitu heroiknya para pemuda bangsa ini dalam memperjuangkan seluruh aspirasinya demi kemajuan bangsa dan negara. Tak heran ada sebuah pepatah “apabila ingin menghancurkan sebuah negeri, maka rusakanlah para pemudanya”, pepatah tersebut memberikan sebuah cerminan bahwa sosok pemuda-pemuda adalah pilar penting bagi keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Kekhawatiran terjadi apabila para generasi muda suatu bangsa telah rusak maka tunggulah kehancuran bangsa tersebut.
Robohnya Pilar-Pilar Bangsa
Setelah reformasi bergulir ternyata hal yang dikhawatirkan selama ini terhadap sosok generasi muda (pemuda) bangsa ini mulai terjadi. Banyaknya permsalahan yang terjadi pada generasi muda telah sampai pada saat yang mengkhawatirkan, seperti “budaya ketimuran” yang telah di westernisasi atau telah dipengaruhi budaya barat yang tidak cocok dengan bangsa ini. Masalah-masalah free seks, narkoba, keegoisan dan lain-lain telah memporak-porandakan mentalitas para pemuda Indonesia kedalam jurang kehancuran moral. Hal tersebut tentu saja berpengaruh terhadap pola perilakunya, kasus-kasus tawuran sesame pelajar, mahasiswa bahkan bentrokan dan perkelahian antara mahasiswa dengan aparat kepolisian semakin menunjukan bahwa kaum muda Indonesia telah hilang semangat membangun negeri. Mereka sekarang ini terkesan ingin menghancurkan peradaban bangsa ini. Perpecahan sering terjadi diantara kaum muda itu sendiri, yang mengakibatkan berefek domino bagi kesatuan dan persatuan bangsa selanjutnya. Tidak adanya pemimpin-pemimpin kaum muda yang solid membuat semakin rapuhnya rantai persatuan di Indonesia saat ini.
Sebagai pilar penyangga bangsa dan negara ini tentu saja hal tersebut  menjadi sebuah bencana, karena kaum muda sebagai penerus bangsa telah hancur dari moral dan tingkah lakunya. Bukan tak mungkin Indonesia kedepannya hanya tinggal sejarah nama belaka. Sosok pemimpin muda yang diharapkan menjadi pewaris rantai kemerdekaan bangsa ini seakan-akan telah lenyap dari bumi Nusantara.
Menumbuhkan Rasa Cinta Tanah Air
Peretasan kembali rasa cinta tanah air merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran untuk bersatu dan bersama-sama membangun negara ini kedepannya agar senantiasa lebih maju. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam hal ini orang tua atau yang sudah berpengalaman untuk mengajak para generasi muda bangsa ini untuk selalu memberikan sebuah teladan mengenai pentingnya kebersamaan dalam hidup. Sebagai bangsa yang terkenal dengan semangat gotong-royongnya, tak pelak lagi maka sosok generasi muda harus mewarisi sifat tersebut yang sudah ada sejak jaman dulu. Pentingnya rasa solidaritas hendaknya selalu ditumbuhkan sejak dini, baik dilakukan dalam pendidikan formal maupun informal. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga dan tentunya lembaga pendidikan harus senantiasa terus merangsang untuk menciptakan generasi muda yang visioner dan memiliki solidaritas sama lain dengan cara mengadakan pelatihan-pelatihan kepemudaan ataupun mengadakan workshop yang intinya merangsang para generasi muda Indonesia untuk menjadi lebih baik dan tentu saja dapat menjadi penerus bangsa yang mempunyai kemauan, kemampuan dan kesolidan dalam memimpin bangsa dan negara ini nantinya. Hal tersebut perlu dilakukan secara terus-menerus dan intensif agar tertanam dalam benak generasi muda untuk memajukan bangsa dan negara. Pemerintah juga harus membentengi para generasi muda dari pengaruh budaya barat (westernisasi) yang bertentangan dengan budaya bangsa ini, yang justru dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa ini nantinya. Salah satu caranya adalah dalam penyensoran televise, film yang kebanyakan saat ini memang telah terpengaruh oleh budaya barat yang justru dapat menyebabkan krisis identitas terhadap generasi muda bangsa ini. Walaupun hal tersebut dikatakan sebagai pengekangan kebebasan, namun perlu dilakukan karena jangan sampai kebebasan yang sebebas-bebasnya dan justru menjadi kebablasan. Seluruh penggunaan teknologi dan informasi harus digunakan secara bijak, sehingga benteng perilaku bangsa ini akan terjaga. Selain itu juga upaya sosialisasi untuk mencitai kebudayaan sendiri oleh pemerintah dan masyarakat jangan sampai tersendat-sendat, tapi justru harus terus-menerus dilakukan, untuk memupuk rasa cinta tanah air bangsa ini.
Sebagai generasi muda, hendaknya kita mempunyai keberanian dan kemauan untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara demi kemajuan bangsa dan negara. Para generasi muda hendaknya dapat membentengi diri dari pengaruh “westernisasi” yang sebagian besar ternyata berdampak buruk pada generasi muda. Pepatah yang menyebutkan “apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu tuai” harus  menjadi pedoman para generasi muda, bahwa setiap pengabdian diri kita untuk bangsa dan negara pasti akan mendapatkan timbal-baliknya. Bangsa dan negeri ini selalu menantikan pemimpin-pemimpin masa depan yang sekaliber Soekarno-Hatta atau bahkan melebihinya yang dapat membawa bangsa dan negara ini maju dan sejahtera.

filsafat hukum


BAB I
PENDAHALUAN
A.  Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari teruatama dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ilmiah sering kali membahas tentang filsafat. Banyak orang bilang bahwa filsafat adalah pekerjaan yang sia-sia, bahkan Budiah memberikan ilustrasi bahwa filsafat itu bagaikan mencari kucing dalam ruangan yang gelap. Dalam arti negative bahwa kegiatan berfilsafat adalah ha yang sia-sia tetapi dalam arti positif bahwa filsafat itu membuat orang akan arif dan bijaksana dalam menanggapi sesuatu hal.
Pengertian Filsafat adalah berasal dari kata Yunani yaitu Filosofia berasal dari kata kerja Filosofein artinya mencintai kebijaksanaan, akan tetapi belum menampakkan hakekat yang sebenarnya adalah himbauan kepada kebijaksanaan. Dengan demikian seorang filsuf adalah orang yang sedang mencari kebijaksanaan, sedangkan pengertian “ orang bijak” (di Timur) seperti di India, cina kuno adalah orang bijak, yang telah tahu arti tahu yang sedalam-dalamnya(ajaran kebatinan), orang bijak/filsuf adalah orang yang sedang berusaha mendapatkan kebijaksanaan atau kebenaran, yang mana kebenaran tersebut tidak mungkin ditemukan oleh satu orang saja.
Pendapat yang menyatakan bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah Filsafat merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, seperti filsafat hukum yang melahirkan ilmu hukum dan seterusnya.
Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum.[1] Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum. Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such).[2] Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.[3]
Masyarakat dalam menaati suatu hal yang disebut hukum  itu kerana berbagai alasan, sehingga filsafat hukum dalam hal ini menelaah pola pikir masyarakat sehingga menaati hukum. Menjadi suatu hal yang patut dikaji ternyata dalam perkembangannya hukum itu ditaati oleh masyarakat berdasarkan beberapa teori yaitu diantaranya : Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan NegaraTeori Kedaulatan Rakyat dan Teori Kedaulatan Hukum
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah mengikatnya hukum berdasarkan :
1.       Teori Kedaulatan Tuhan?
2.       Teori Kedaulatan Negara?
3.       Teori Kedaulatan Rakyat?
4.       Teori Kedaulatan Hukum?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan (dark age/jaman kegelapan) yaitu antara abad ke V sampai abad ke XV. Dalam perkembangannya teori ini sangat erat  hubunganya dengan berkembangangnya agama Kristen, yaitu melalui kelembagaan melalui gereja yang dipimpin oleh Paus.[4]
Pada perkembangannya agama tersebut mendapatkan pertentangan yang hebat karena agama Kristen waktu pada permulaannya bertentangan dengan kepercayaan pada watu itu di Eropa yaitu penyembahan kepada dewa-dewa atau pantheisme. Tetapi seiring berjalannya waktu agama Kristen terus berkembang dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Eropa pada waktu tersebut. Beberapa penganut teori ini adalah Thomas Aquinos dan Marsilius.
Menurut teori ini segala hukum adalah harus bersumber dari tuhan dalam hal ini pada waktu itu adalah tuhan agamanya Kristen. Pandangan teori ini adalah tuhan sendiri yang menetapkan hukum dan pemerintah-pemerintah dunia adalah pesuruh-pesuruh berdasarkan kehendak tuhan.[5] Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauannya. Konsekuensi ketika manusia sebagai ciptaan tuhan adalah manusia wajib taat terhadap perintah tuhan. Teori kedaulatan tuhan ini sepeti membenarkan perlunya hukum dibuat oleh raja-raja sebagai wakil tuhan dalam bidang duniawi sedangkan untuk wakil tuhan dibidang spiritual dipegang oleh Paus. Ketika raja dianggap sebagai wakil tuhan maka hukum-hukum yang dikeluarkannya wajib ditaati oleh rakyatnya ketika memang mereka percaya bahwa raja adalah wakil tuhan di dunia. Berarti hukum ditaati oleh masyarakat berdasar teori kedaulatan tuhan adalah bahwa tuhan telah mewakilkan didunia melalui Paus dan raja sehingga peraturan yang dibuat mereka wajib ditaati oleh masyarakat sebagai ciptaan dari tuhan
B.  Teori Kedaulatan Negara
Menurut teori ini kedaulatan tidak berada dalam kedaulatan tuhan melainkan terletak pada kedaulatan sebuah negara. Konsepsinya negaralah yang menciptakan hukum sehingga seluruh rakyat harus tunduk pada ketentuan yang telah dibuat oleh negara. Adanya hukum dikarenakan adnya negara terlebih dahulu sehingga tiada suatu hukum yang berlaku kecuali yang dibuat oleh negara.Para penganut teori ini diantaranya adalah Jean Bodin dan Georg Jellinek.
Pada pemahaman teori ini kekuasaan tertinggi ada pada negara, terlepas apakah negara tersebut itu absolut maupun relative. namun yang menjadi catatan ketika dalam negara yang absolute yang berarti kekuasaan negara tidak terbatas yang mengakibatkan semua kehidupan negara diatur oleh negara maka mengakibatkan warga negara tidak akan mempunya kepribadian karena terkekang oleh hukum yang dibuat oleh negara. [6]
Terdapat kritik terhadap teori ini ketika hukum dianggap sebagai penjelmaan dari kemauan atau kehendak negara sehingga akan mempunyai kekuatan berlakunya ketika ditetapkan oleh negara, tetapi pelaksanaannya belum tentu demikian. dalam kenyatannya tenyata negara itu tunduk pada hukum, sepeti yang diungkapkan leon duguit. Jellinek menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa negara dengan sukarela mengikatkan dirinya atau mengahruskan dirinya tunduk pada hukum sebagai penjelmaan dari kehendaknya sendiri. Pendapat Jellinek tersebut masih ada bantahan dari Krabbe karena menurutnya bahwa negara ternyata tunduk pada hukum maka dengan demikian hukumlah yang lebih berdaulat daripada negara. Tetapi menurut teori ini adalah masyarakat suatu negara menaati hukum didasarkan bahwa negara tersebu menghendaki atau menetapkan hukum pada rakyatnya.
C.  Teori Kedaulatan Hukum
Dalam pandangan teori ini adalah bahwa yang mempunyai kedaulatan yang utama dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. konsekuensi logisnya adalah bahwa raja atau penguasa maupun rakyat bahkan negara pun wajib taat pada hukum. Sikap Maupun tingkah laku perbuatannya harus sesuai dengan hukum.[7]
Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum ialah rasa hukum yang terdapat dalam masyarkat itu sendiri atau volkgeist dari masyarakat tersebut. rasa hukum yang kadarnya masih rendah atau primitif disebut insthink hukum, sedangkan untuk kadarnya yang lebih luas disebut kesadaran hukum.[8]  Berdasarkan hal tersebut yang dinamakan hukum itu tidak timbul dari kehendak negara karena hukum tersebut berasal dari penjelmaan rasa yang dikehendaki masyarakat itu sendiri dan masyarakat pun menaati secara insting maupun secara sadar terhadap hukum tersebut karena masyarakat sebagai manusia mempunyai perasaan terhadap segala hal yang dirasakan adil ataupun tidak, begitu halnya terhadap suatu norma, ketika dianggap adil maka masyarakat akan menaatinya tetapi apabila tidak maka masyarakat tidak akan menaatinya.
Krenenburg pun berpendapat bahwa hukum positif tidak dapat dipaksakan oleh pemerintah menurut sekehendak hatinya, tetapi harus terdapat kecenderungan memperhatikan rasa hukum itu sendiri dan kesadaran hukum masyarakat. karena apabila pemerintah melaksanakan hukum dengan sekehendak haitnya maka akan timbul reaksi dari masyarakat, Ketika reaksinya lamban maka diwujudkan melalui yurisprudensi dan kebiasaan, tetapi apabila cepat maka kemungkinan terburuk seperti revolusi akan terjadi yang akan melemahkan dari pemerintah itu sendiri.Pada intinya menurut teori ini bahwa hukum ditaati ketika persaan rakyak menganggap hukum itu layak ditaati berdasarkan perasaan jiwa dari masyarakat..
D.  Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut teori ini hukum ditaati oleh masyarakat karena masyarakat telah berjanji untuk mentaatinya, karena hukum dianggap sebagai kehendak bersama yang menjadikan hukum sebagai suatu consensus dari masyarakat. [9] Adapaun  beberapa sarjana yang mengikuti ajaran teori ini adalah J.J Rousseau Hugo de Groot, Thomas Hobbes Immanuel Kant, dan John Locke.
Menurut Thomas Hobbes pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana belum opinium contra omnes (the war of all against all), selalu dalam berperang. Agar tercipta suatu keadaan yang damai dan tenteram maka diadakan suatu perjanjian antara semua dengan orang tertentu (pactum subjectum) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka.
Sedangkan menurut John Locke pada perjanjian masyarakat tersebut harus disertakan pula syarat-syarat yang antara lain kekuasaan yang diserahkan itu dibatasi oleh hak asasi manusia sehingga hal tersebut akan membatasi agar orang yang punya kekuasaan tersebut tidak sewenang-wenang. kemudian Rousseau berpendapat bahwa kekuasaan yang dimilki anggota masyarakat tetap pada individu-individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan syarat tertentu. kontruksi yang ingin dihasilkan meurut dia adalah demokrasi langsung. pemikirannya hanya cocok pada negara yang luas wilayah dan penduduknya sedikit, bukan pada negara yang modern seperti sekarang yang jumlah dan luas wilayah negaranya sangat banyak dan luas.
Immanuel Kant pun berpendapat bahwa tujuan dari adanya negara adalah untuk menjamin kebebasan terhadap warga negaranya. Dalam artian kebebasan ini dibatasi oleh undang-undang, sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Pemikiran Kant tersebut berarti ketika undnag-undang merupakan penjelmaan dari kemauan atau kehendak rakyat maka rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi, atau dengan kata lain hukum itu ditaati karena oleh rakyat dan untuk rakyat itu sendiri.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Menurut Teori Kedaulatan Tuhan bahwa hukum ditaati oleh masyarakat karena hukum itu bersumber dari tuhan melalui perwakilannya di dunia yaitu Paus dan Raja sehingga masyarakat sebagai manusia ciptaan tuhan menaati hukum yang telah diperintahkan oleh Paus ataupun Raja karena mereka adalah wakil tuhan di dunia.
2.      Menurut Teori Kedaulatan Negara bahwa kedaulatan tidak ditangan tuhan melainkan ada pada negara, sehingga hukum ditaati karena kehendak dari negara yang menetapkan hukum tersebut sehingga masyarakat dinegara tersebut harus menaati setiap hukum yang telah ditetapkan oleh negara tersebut.
3.      Menurut Teori Kedaulatan Hukum bahwa masyarakat menaati semua aturan hukum karena hukumlah yang lebih tinggi daripada negara sehingga masyarakat, penguasa bahkan negara wajib tunduk pada hukum.
4.      Menururt Teori Kedaulatan Rakyat bahwa hukum ditaati oleh masyarakat karena masyarakat telah berjanji untuk mentaatinya, karena hukum dianggap sebagai kehendak bersama yang menjadikan hukum sebagai suatu consensus dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Aveldorn, L.J van. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Pradya Paramita.
Rasjidi, Lili dan Thania Rasjidi. 2007. Pengantar Fisafat Hukum. Bandung : CV Mandar Maju.
Soehino. 2005. Ilmu Negara, cetakan ke-5. Yogyakarta : Liberrty
Sidharta, Bernard Arif. 2000 Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia). Bandung : CV Mandar Maju.


[1] Lili Rasjidi, dalam Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Bandung : CV Mandar Maju, 2000, hlm.119.
[2] Hukum positif adalah ialah terjemahan dari ius positum dalam bahasa latin, secara harfiah berarti hukum yang ditetapkan (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut stellig recht. Lihat J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 142
[3] Ibid. hlm 142
[4] Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, Cetakan ke-7, 2005, hlm. 152.
[5] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : CV Mandar Maju, 2007, hlm. 82.
[6] Soehino, Op.Cit., hlm. 156.
[7] Soehino, Op.Cit., hlm. 156.
[8] Volkgeist adalah ungkapan yang disebut oleh Von Savigny karena dia mengatakan bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang tergantung masyarakat itu sendiri, sehingga ia meolak bahwa hukum itu dikodifikasi. lihat Soehino, Op.Cit., hlm. 156.

[9] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm 83